STRESS
Stres dalam arti secara
umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang. Dalam bahasa sehari – hari
stres di kenal sebagai stimulus atau respon yang menuntut individu untuk
melakukan penyesuaian. Menurut Lazarus & Folkman (1986) stres adalah
keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau
kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak
terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Stres juga
adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis ( Chapplin,
1999). Stres juga diterangkan sebagai suatu istilah yang digunakan dalam ilmu
perilaku dan ilmu alam untuk mengindikasikan situasi atau kondisi fisik,
biologis dan psikologis organisme yang memberikan tekanan kepada organisme itu
sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatan adaptifnya. (McGrath, dan
Wedford dalam Arend dkk, 1997). Menurut Lazarus & Folkman (1986) stres
memiliki memiliki tiga bentuk yaitu:
1) Stimulus,
yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang menimbulkan stres
atau disebut juga dengan stressor.
2) Respon, yaitu
stres yang merupakan suatu respon atau reaksi individu yang muncul karena
adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang muncul dapat secara
psikologis, seperti: jantung berdebar, gemetar, pusing, serta respon psikologis
seperti: takut, cemas, sulit berkonsentrasi, dan mudah tersinggung.
3) Proses, yaitu
stres digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara aktif dapat
mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku, kognisi maupun afeksi.
Rice (2002) mengatakan bahwa stres
adalah suatu kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan individu merasa
tegang. Atkinson (2000) mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang
dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Situasi
ini disebut sebagai penyebab stres dan reaksi individu terhadap situasi stres
ini sebagai respon stres.
Berdasarkan berbagai penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa stres merupakan suatu keadaan yang menekan diri individu.
Stres merupakan mekanisme yang kompleks dan menghasilkan respon yang saling
terkait baik fisiologis, psikologis, maupun perilaku pada individu yang
mengalaminya, dimana mekanisme tersebut bersifat individual yang sifatnya berbeda
antara individu yang satu dengan individu yang lain.
1.
Penyebab Stres atau Stressor
Stressor adalah faktor-faktor dalam
kehidupan manusia yang mengakibatkan terjadinya respon stres. Stressor dapat
berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun
sosial dan juga muncul pada situasi kerja, dirumah, dalam kehidupan sosial, dan
lingkungan luar lainnya. Istilah stressor diperkenalkan pertama kali oleh Selye
(dalam Rice, 2002). Menurut Lazarus & Folkman (1986) stressor dapat
berwujud atau berbentuk fisik (seperti polusi udara) dan dapat juga berkaitan
dengan lingkungan sosial (seperti interaksi sosial). Pikiran dan perasaan
individu sendiri yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun
imajinasi dapat juga menjadi stressor. Menurut Lazarus & Cohen (1977), tiga
tipe kejadian yang dapat menyebabkan stres yaitu:
a) Daily hassles
yaitu kejadian kecil yang terjadi berulang-ulang setiap hari seperti masalah
kerja di kantor, sekolah dan sebagainya.
b) Personal stressor yaitu ancaman atau gangguan yang lebih kuat atau kehilangan besar
terhadap sesuatu yang terjadi pada level individual seperti kehilangan orang
yang dicintai, kehilangan pekerjaan, masalah keuangan dan masalah pribadi
lainnya
Ditambahkan Freese Gibson (dalam
Rachmaningrum, 1999) umur adalah salah satu faktor penting yang menjadi
penyebab stres, semakin bertambah umur seseorang, semakin mudah mengalami
stres. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami
kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir,
mengingat dan mendengar. Pengalaman kerja juga mempengaruhi munculnya stres
kerja. Individu yang memiliki pengalaman kerja lebih lama, cenderung lebih
rentan terhadap tekanan-tekanan dalam pekerjaan, daripada individu dengan
sedikit pengalaman (Koch & Dipboye, dalam Rachmaningrum,1999). Selanjutnya
masih ada beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat stres, yaitu
kondisi fisik, ada tidaknya dukungan sosial, harga diri, gaya hidup dan juga
tipe kepribadian tertentu (Dipboye, Gibsin, Riggio dalam Rachmaningrum, 1999).
2.
Appraisal
Penilaian terhadap suatu keadaan yang
dapat menyebabkan stres disebut stress appraisals. Menilai suatu
keadaan yang dapat mengakibatkan stress tergantung dari 2 faktor, yaitu faktor
yang berhubungan dengan orangnya (Personal factors) dan faktor yang berhubungan
dengan situasinya. Personal factors didalamnya termasuk intelektual, motivasi,
dan personality characteristics. Sedangkan faktor situasi yang ,mempengaruhi
stress appraisals, yaitu:
1) Kejadian yang melibatkan tuntutan
yang sangat tinggi dan mendesak sehingga menyebabkan ketidaknyamanan.
2) Life transitions, dimana kehidupan mempunyai banyak kejadian penting yang menandakan
berlalunya perubahan dari kondisi atau fase yang satu ke yang lain, dan
menghasilkan perubahan substansial dan tuntutan yang baru dalam kehidupan kita.
3) Timing juga
berpengaruh terhadap kejadian-kejadian dalam kehidupan kita, dimana apabila
kita sudah merencanakan sesuatu yang besar dalam kehidupan kita dan timing-nya
meleset dari rencana semula, juga dapat menimbulkan stress.
4) Ambiguity,
yaitu ketidakjelasan akan situasi yang terjadi.
5) Desirability,
ada beberapa kejadian yang terjadi diluar dugaan kita.
6) Controllability, yaitu apakah
seseorang mempunyai kemampuan untuk merubah atau menghilangkan stressor.
Seseorang cenderung menilai suatu situasi yang tidak terkontrol sebagai suatu
keadaan yang lebih stressful, daripada situasi yang terkontrol.
Menurut Lazarus (1986) ada dua macam
penilaian yang dilakukan individu untuk menilai apakah suatu kejadian yang
dapat atau tidak menimbulkan stress bagi individu, yaitu:
a) Primary appraisals yaitu penilaian pada waktu kita mendeteksi suatu kejadian yang potensial
untuk menyebabkan stress. Peristiwa yang diterima sebagai keadaan stress
selanjutnya akan dinilai menjadi 3 akibat yaitu harmloss (tidak berbahaya),
threat (ancaman) dan challenge (tantangan)
b) Secondary appraisals mengarah pada resources yang tersedia pada diri kita atau yang kita
miliki untuk menanggulangi stres.
3.
Coping
Individu dari semua umur mengalami
stres dan mencoba untuk mengatasinya. Karena ketegangan fisik dan emosional
yang menyertai stres menimbulkan ketidaknyamanan seseorang menjadi termotivasi
untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi stres. Hal-hal yang dilakukan bagian
dari coping (dalam Jusung, 2006). Menurut Colman (2001) coping adalah proses
dimana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan yang diterima antara demands
dan resources yang dinilai dalam suatu keadaan yang stressful. Lazarus &
Folkman (1986) mendefenisikan coping sebagai segala usaha untuk mengurangi
stres, yang merupakan proses pengaturan atau tuntutan (eksternal maupun
internal) yang dinilai sebagai beban yang melampaui kemampuan seseorang. Sarafino
(2006) menambahkan bahwa coping adalah proses dimana individu melakukan usaha
untuk mengatur (management) situasi yang dipersepsikan adanya kesenjangan
antara usaha (demands) dan kemampuan (resources) yang dinilai sebagai penyebab
munculnya situasi stres. Menurut Sarafino (2006) usaha coping sangat bervariasi
dan tidak selalu dapat membawa pada solusi dari suatu masalah yang menimbulkan
situasi stres. Individu melakukan proses coping terhadap stres melalui proses
transaksi dengan lingkungan, secara perilaku dan kognitif.
4.
Fungsi Coping
Proses coping terhadap stres memiliki
2 fungsi utama yang terlihat dari bagaimana gaya menghadapi stres, yaitu :
1) Emotional-Focused Coping
Coping ini
bertujuan untuk melakukan kontrol terhadap respon emosional terhadap situasi
penyebab stres, baik dalam pendekatan secara behavioral maupun kognitif.
Lazarus dan Folkman (1986) mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan
Emotional-Focused Coping ketika individu memiliki persepsi bahwa stresor yang
ada tidak dapat diubah atau diatasi.
2) Problem-Focused Coping
Coping ini
bertujuan untuk mengurangi dampak dari situasi stres atau memperbesar sumber
daya dan usaha untuk menghadapi stres. Lazarus dan Folkman (1986) mengemukakan
bahwa individu cenderung menggunakan Problem Focused Coping ketika individu
memiliki persepsi bahwa stressor yang ada dapat diubah.
5.
Metode Coping Stress
Lazarus & Folkman (1986)
mengidentifikasikan berbagai jenis strategi coping, baik secara problem-focused
maupun emotion-focused, antara lain:
1. Planful problem solving yaitu usaha untuk mengubah situasi, dan menggunakan usaha
untuk memecahkan masalah.
2. Confrontive coping yaitu menggunakan usaha agresif untuk mengubah situasi, mencari
penyebabnya dan mengalami resiko.
3. Seeking social support yaitu menggunakan usaha untuk mencari sumber dukungan
informasi, dukungan sosial dan dukungan emosional.
4. Accepting responsibility yaitu mengakui adanya peran diri sendiri dalam masalah
5. Distancing
yaitu menggunakan usaha untuk melepaskan dirinya, perhatian lebih kepada hal
yang dapat menciptakan suatu pandangan positif.
6. Escape-avoidance yaitu melakukan tingkah laku untuk lepas atau menghindari.
7. Self-control
yaitu menggunakan usaha untuk mengatur tindakan dan perasaan diri sendiri.
8. Positive reappraisal yaitu menggunakan usaha untuk menciptakan hal-hal positif dengan
memusatkan pada diri sendiri dan juga menyangkut religiusitas.
6.
Faktor – faktor yang mempengaruhi
Coping
Menurut
Smet (1994) faktor-faktor tersebut adalah:
1. Variabel dalam kondisi individu;
mencakup umur, tahap perkembangan, jenis kelamin, temperamen, faktor genetik,
intelegensi, pendidikan, suku, kebudayaan, status ekonomi dan kondisi fisik.
Handayani (dalam Pamangsah, 2000), dalam skripsi kesarjanaannya menambahkan
pula faktor-faktor yang berperan dalam strategi menghadapi masalah, antara
lain: konflik dan stres serta jenis pekerjaan.
2. Karakteristik
kepribadian, mencakup introvert-ekstrovert, stabilitas emosi secara umum,
kepribadian “ketabahan” (hardiness), locus of control, kekebalan dan ketahanan.
3. Variabel
sosial-kognitif, mencakup: dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial,
kontrol pribadi yang dirasakan.
4. Hubungan
dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi dalam
jaringan sosial.
5. Strategi
coping, merupakan cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah dan
menyesuaikan diri dengan perubahan dalam situasi yang tidak menyenangkan.
Referensi :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24670/4/Chapter%20II.pdf
Komentar
Posting Komentar